Ads 468x60px

Sample text

Rabu, 19 Oktober 2011

Solo gabung 100 kota di Asia Pasifik untuk pembangunan Kota Hijau



Jumat(25/6), Urbanisasi membawa dampak negatif yang bisa menimbulkan masalah perkumuhan perkotaan, kepadatan penduduk, menurunnya kesehatan, kehidupan yang kurang baik dan lain-lain. Banyaknya urbanisasi ini juga akan memberikan kesenjangan hidup, dan ini perlu penanganan tersendiri. Untuk perkotaan di Pulau Jawa pada umumnya sudah padat penduduknya.

Maka Solo melaksanakan pembangunan kota hijau untuk mengatasi masalah urbanisasi ini. Solo bergabung dengan 100 kota di Asia Pasifik untuk ikut kampenye masalah pembangunan ini. Indonesia juga mendapat penghargaan untuk pusat penelitian dalam masalah tersebut.

Dalam acara APMCHUD yang di selenggarakan 22-24 juni 2010 Indonesia berbagi pengalaman kepada anggota lainnya dalam penangananan masalah urbanisasi misalnya ditampilkan proyek Pucang Sawit  yaitu pemindahan pemukiman kumuh di tepi Sungai Bengawan Solo, yang dipindahkan ke lokasi Elok dan Pipitan di Solo.

Selain itu ada proyek penanganan serupa di kawasan Keratonan untuk bidang sanitasi, kawasan Notodipuro yaitu penanggulangan lokasi pasar pedagang kaki lima dan kawasan Nusuan di tepi Kali Anyar yaitu kawasan kumuh yang akan ditata dalam pola bedah kampung, semuanya berlokasi di Solo.
http://www.surakarta.go.id

Sejarah Boyolali


SEJARAH KABUPATEN BOYOLALI


 Asal mula nama BOYOLALI menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali
tak disebutkan. Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan
Pengging, nama Boyolali belum dikenal.
Dalam Menurut legenda nama BOYOLALI berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan
Arang (Bupati Semarang pada abad XVI. Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal
dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh Sunan Kalijogo sebagai Wali penutup
menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus
untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama Islam.
Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng banyak menemui
rintangan dan batu sandungan sebagai ujian. Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan
anak dan istri ketika berada di sebuah hutan belantara beliau dirampok oleh tiga orang
yang mengira beliau membawa harta benda ternyata dugaan itu keliru maka tempat
inilah sekarang dikenal dengan nama SALATIGA. Perjalanan diteruskan hingga sampailah
disuatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel dan tempat inilah
sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali.
Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan
anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng Beristirahat di sebuah Batu
Besar yang berada di tengah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Berucap “ BAYA
WIS LALI WONG IKI” yang dalam bahasa Indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”.
Dari kata Baya Wis Lali/ maka jadilah nama BOYOLALI. Batu besar yang berada di
Kali Pepe yang membelah kota Boyolali mungkinkah ini tempat beristirahat Ki Ageng
Pandan Arang. Mungkin tak ada yang bisa menjawab dan sampai sekarang pun belum
pernah ada meneliti tentang keberadaan batu ini.
Demikian juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar
Sunggingan Boyolali, konon menurut masyarakat setempat batu ini dulu adalah
tempat untuk beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang. Dalam istirahatnya Nyi Ageng
mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk
mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu). Karena batu ini mirip dakon,
masyarakat disekitar Pasar Sunggingan menyebutnya mBah Dakon dan hingga
sekarang batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani
mengusiknya.
http://lutfiajip.wordpress.com